With The Truth

Blog ini semetara of dulu sob..
  • Snouck Hurgronje / Willian Cristian Snouck Hurgronje Peletak Dasar Sekulerisme di Indonesia

  • Snouck Hurgronje Seorang “Agen Intelijen” Hindia Belanda

  • Snouck Hurgronje,Mata-Mata Belanda untuk Merusak Islam

  • Saran Snouck Untuk Belanda: Bunuh Para Ulama, Karena Mereka yang Menggerakkan Ummat!

  • Sekularisasi Snouck: Jadikan Islam Hanya Sebagai "Agama Ritual"

  • Taktik Snouck Melemahkan Hukum Islam: Benturkan dengan Adat!

  • Snouck Lemahkan Hukum Islam: Posisikan Hukum Islam di Bawah Hukum Adat

  • Snouck Melemahkan Perjuangan Umat Islam Indonesia: Awasi dan Kontrol Pernikahan

  • Snouck Lemahkan Perjuangan Umat Islam Indonesia: Terapkan Asas Monogami

  • Strategi Snouck Lemahkan Islam: Kontrol Kas Masjid dan Jadikan Penghulu Sebagai Agen Pemerintah Kolonial

29 Mei 1453


Matahari mulai menampakkan dirinya di belahan bumi sebelah timur, sinarnya mulai naik, menghangatkan dan menerangi pemandangan di hari yang sangat istimewa itu
Sorak dan riuh pasukan mengalahkan rintih dan desah sakit mereka yang terluka, kibar panji dan bendera berpadu dengan lusuh dan karat baju tentara Utsmani

Dibawah bendera merah bertuliskan dua kalimat syahadat, seorang pemuda dengan gagahnya berada diatas kuda. Dzikir membasahi lidah dan bibirnya senantiasa 

Dikawani oleh gurunya yang mendoakannya tanpa henti, dan pasukan-pasukan yang mencintainya. Dengan nama Allah, dia memasuki gerbang kota dengan reputasi ribuan tahun itu

Kota inilah yang pernah dilisankan Nabinya sekira 825 tahun yang lalu. Kota inilah kota terkuat dan terindah sejak masa Nabinya, dijanjikan olehnya akan dibebaskan 

Dulu terlisankan, "Sebaik-baik panglima, adalah dia yang membebaskan Konstantinopel", menyadari bahwa itu adalah dirinya, sungguh membuatnya bersukacita

Tak henti "MasyaAllah, masyaAllah" teruntai dari pemuda berusia 21 tahun itu. Perlahan dengan kudanya ia menuju jantung kota, gereja Hagia Sophia nan megah 

Hari itu akan terkenang sepanjang peradaban Islam masih mewujud, kisah tentang seorang pemuda, yang mengubah dunia dengan kekesatriaan dan keteguhannya

Tanggal itu, 29 Mei, akan selalu diingat oleh kaum Muslim. Yakni hari dimana kaum Muslim membuktikan, bahwa tiap bisyarah Nabi Muhammad saw adalah kepastian [fs]


Share:

Kok Terbalik?


Kata "TERRORISME" mudah di ucap namun rumit di definisikan, pada umumnya terrorisme adalah sesuatu tindakan kekerasaan yang menebar ketakutan dengan tujuan jelas ataupun tidak jelas oleh pelakunnya.

Di balik kata terrorisme ini tersimpan banyak hal-hal sulit dipahami, hingga banyak orang keliru memahaminya. Dahsyatnya kata terrorisme saat ini bak senjata tercanggih di dunia. Hati-hati dari mana kepada siapa kata ini di tujukan.

Pada 5 Desember 2013 menjadi hari berkabung internasional. Pada hari itu Nelson Mandela yang sangat mereka hormati menghembuskan nafas terakhirnya. Hampir seluruh pemimpin dunia mengucapkan belasungkawa atas kepergian tokoh yang menjadi tonggak berakhirnya politik apartheid di Afrika Selatan. Hal ini wajar, karena Nelson Mandela telah dianggap sebagai pahlawan pembebas dunia. Presiden AS saat itu Barrack Husein Obama sampai menyatakan bahwa dirinya tak bisa membayangkan bentuk kehidupannya hari ini tanpa jasa seorang Mandela.

Namun yang menarik adalah pernyataan PM Inggris David Cameron, dia mengatakan bahwa cahaya besar telah meninggalkan dunia dan tak lupa dia menyebut Mandela sebagai pahlawan di zaman kita. Ungkapan belasungkawa yang sangat-sangat normal, bahkan bisa dibilang terlalu standar. Namun kita akan sedikit mengeryitkan dahi ketika tahu bahwa ketika masih menjadi mahasiswa Cameron merupakan aktivis Federation of Conservative Students, sayap pelajar dari partai Konservatif. Kampanye utama mereka pada saat itu adalah “Gantung Mandela”. Bagi mereka Nelson Mandela beserta kelompok African National Congress (ANC) adalah teroris.

Namun sejatinya Cameron tidak sendiri, ANC pada waktu itu memang dipandang sebagai organisasi teroris oleh dunia barat, termasuk Amerika Serikat. Pada tahun 1987, Margaret Thatcher menyebut ANC sebagai “tipikal organisasi teroris, siapapun yang menganggap bahwa mereka akan memerintah Afrika Selatan berarti sedang tinggal di alam mimpi.”

Kita mungkin bertanya, bagaimana bisa sebuah pandangan umum berubah seratus delapan puluh derajat dalam rentang waktu tiga puluh tahun. Dari “teroris” menjadi “pahlawan”, dari “pembunuh” menjadi “cahaya”. Sementara Nelson Mandela sebagai objek mungkin tak berubah sama sekali, dia masih orang yang sama yang mendukung praktik necklacing, yaitu eksekusi dengan mengalungkan roda yang sudah diberi minyak ke leher korban untuk kemudian dibakar, pemikiran serta cara pandangnya terhadap dunia pun tak ada yang berubah, dan dia pun tak lantas menjilat para pemimpin barat agar tak lagi disebut teroris. Tetapi mengapa kini dunia barat seolah lupa dengan apa yang mereka pikirkan tentang Mandela di masa lalu.

Potret di atas merupakan satu dari sekian potret yang mengarah pada absurditas teror dan terorisme sebagai sebuah istilah. Terorisme ternyata mempunyai makna yang berbeda bagi orang yang berbeda, dan lebih daripada itu sifat terorisme juga akan berubah seiring perjalanan sejarah. Dari “pelabelan Mandela” kita tahu bahwa aktivitas kekerasan yang hari ini dilabeli terorisme, extraordinary crime, pada satu periode sejarah tertentu akan dilabeli sebagai perang, gerakan pembebasan, bahkan sekedar kejahatan biasa.

Kisah Mandela juga bisa menjadi contoh yang baik untuk sebuah ungkapan populer “teroris bagi seseorang adalah pejuang kemerdekaan bagi yang lain”, hal ini tentu menjadi cerminan ketidakberesan dalam pendefinisian terorisme. Terorisme sebagai sebuah istilah telah berada di ruang publik selama dua abad, namun sepanjang itu belum ditemukan definisi yang universal, bahkan Alex Schmid dalam penelitiannya mengutip lebih dari 250 definisi terorisme. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh mantan kepala BNPT Ansyaad Mbai bahwa definisi terorisme yang disepakati secara global itu memang belum ada, dan dalam kalimat lanjutannya Mbai justru menegaskan bahwa itu tidak akan pernah ada.

Selain itu, dari kisah Mandela kita juga bisa menyimpulkan bahwa definisi terorisme cenderung bersifat politis dan berdiri di atas basis kepentingan. Baik dalam ruang lingkup politik ataupun akademik, definisi terorisme yang kita baca ataupun dengar cenderung mencerminkan kepentingan siapa yang mendefinisikan.

Richard Jackson dalam bukunya Terrorism: A Critical Introduction menjelaskan bahwa definisi terorisme secara tak terpisahkan selalu bersifat politis dalam dua pengertian. Pertama, politis karena penggunaannya mencegah kita dari mengeksplorasi pemahaman alternatif dari hal yang telah ditetapkan. Jackson mencontohkan peristiwa 11 September, persepsi yang telah berkembang luas bahwa serangan tersebut adalah aksi terorisme sejatinya bukanlah sesuatu yang tak terelakkan, menurutnya masih ada interpretasi alternatif yang lebih masuk akal seperti “aksi kriminal”, namun nyatanya interpretasi tersebut benar-benar dikesampingkan demi sebuah kepentingan politik.

Dan yang kedua, definisi tersebut bersifat politis karena memiliki konsekuensi sosial dan kemanusiaan yang sangat nyata dan seringkali berbahaya. Ya gambaran umum bahwa teroris adalah orang yang sangat jahat bisa melegitimasi bentuk-bentuk tertentu dari respon kontraterorisme yang tidak manusiawi. Jadi meskipun tidak manusiawi, respon tersebut cenderung “dimaklumi” dan “dimaafkan” oleh publik. Teknik interogasi waterboarding, yaitu teknik interogasi dengan cara mengikat tangan dan wajah, kemudian kepala ditutup dan dituangkan air yang dilakukan AS terhadap tahanan Guantanamo manjadi contoh yang baik dalam hal ini.

Selanjutnya, dari kisah Mandela kita juga mengetahui bahwa pelabelan teroris selalu dari pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Sayangnya hal tersebut masih berlangsung hingga hari ini, dan siapaun yang berpikir pasti akan menyadari bahwa pada hari ini kita dihadapkan pada sebuah bias perspektif yang mengerikan, bahwa setiap tindakan melawan Barat dengan segenap kepentingannya adalah terorisme, Adapun segala bentuk kekerasan yang tidak melawan Barat dan tidak mengganggu kepentingan mereka jarang, bahkan tidak pernah, dianggap sebagai terorisme.

Dan terakhir, dari kisah Mandela kita bisa mengetahui bahwa pelabelan teroris cenderung diarahkan kepada aktor non negara. Apa yang dialami ANC di masa lampau pada hari ini dialami oleh Al Qaeda di Timur Tengah, MILF di Filipina, HTS di Suriah, ataupun JI di Asia Tenggara, mereka dilabeli teroris lebih karena status mereka, lebih karena perlawanan mereka terhadap aktor negara, sebaik apapun kebijakan alternatif yang mereka tawarkan tidak akan mengubah label mereka sebagai teroris.

Bruce Hoffman, yang dianggap sebagai pakar terorisme, dalam bukunya Inside Terrorism menyatakan bahwa terorisme dilakukan oleh kelompok subnasional atau non-negara. Demikian pula James Lutz dan Brenda Lutz dalam Global Terrorism menulis bahwa terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan dan melibatkan aktor non-negara.

Sebuah pelabelan yang mengundang tanda tanya yang sangat besar, jika kita melihat sepanjang abad ke 20 saja, sebagaimana yang tertulis dalam Dictionary of Terrorism dibandingkan 500.000 orang yang telah dibunuh oleh aktor non negara, berbagai negara dalam proses perang menewaskan 34 juta orang dan 170 juta lainnya di luar kontur perang.

Maka hal yang paling krusial adalah, jika “Siapakah teroris itu?” tak punya jawaban yang pasti, maka bisa dipastikan tindakan kontraterorisme juga tidak mempunyai arah yang pasti juga. Maka bisa dipastikan pula selama jawaban yang pasti belum ditemukan, semua respon kontraterorisme yang ada pasti politis dan berpijak di atas basis kepentingan pihak yang berkuasa.

Dan terakhir, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk meributkan sesuatu yang tekstual sembari mengabaikan fakta jatuhnya korban dari setiap tindakan yang dilabeli terorisme. Namun penulis hanya ingin mengingatkan setiap pihak bahwa terorisme adalah istilah yang sangat merendahkan. Dan terorisme adalah istilah yang sangat berbahaya, karena orang cenderung menyalahgunakannya dengan menyematkannya kepada pihak yang mereka benci, sebagai cara untuk menghindari diskusi yang seimbang dan rasional, dan juga sebagai pembenar atas tindakan illegal dan tak bermoral yang mereka lakukan sendiri.

Mungkin, demi kehidupan yang setidaknya lebih tenang dan damai, ada baiknya kita mulai berhenti menggunakan istilah terorisme di ruang publik. Atau kalaupun masih ingin menggunakan hendaknya dengan definisi yang lebih jujur dan lebih diterima semua pihak. Salah satunya definisi yang dilontarkan oleh John Whitbeck, pengacara internasional Amerika bahwa “terorisme adalah kekerasan yang tidak saya dukung.”
[kiblat]
Penulis : Rusydan Abdul Hadi
Share:

Tindakan Represif China Terhadap Muslim Uyghur Hingga Berjihad ke Suriyah


Kisah singkat seorang muslim Uyghur
Saat tengah hari, kala itu polisi China menerobos masuk ke rumah Ali yang tak jauh dari ladang kapas di luar Kashgar. Ali seorang petani Uyghur orang tuanya tampak cemberut melihat mereka menggeledah rumahnya. Sampai akhirnya polisi-polisi tersebut menemukan dua kitab di kamarnya; sebuah mushaf Al-Qur’an dan sebuah buku panduan untuk menghadapi interogasi.

Esok harinya menjelang senja Ali telah terikat pada sebuah pohon dan dipukuli oleh para interogator yang berusaha memaksa dia untuk mengatakan bahwa dia ikut dalam kerusuhan etnis yang menewaskan puluhan orang di Cina Barat. Mereka membawa tip rokok yang membara ke wajah Ali hingga ia pingsan dan hanya menawarinya air garam. Ketika dia meminta air tawar, mereka memberinya air di dalam ember yang dituangkan di atas kepalanya.

Itulah kenangan pahit pada musim dingin tahun 2009, yang masih diingat Ali beberapa tahun kemudian, hingga ia meniti jalan yang berujung di dataran tinggi Suriah Utara. Kini ia menenteng senapan Kalashnikov di bawah bendera jihad hitam dan bercita-cita untuk melancarkan jihad terhadap penguasa China di tanah airnya.


Sejak 2013, ribuan warga Uighur, suku Muslim berbahasa Turki dari Turkistan Timur (Xinjiang, Cina Barat) telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk berlatih dan berjihad dengan mujahidin, terutama dari kelompok Al-Hizb Al-Islami At-Turkistani atau Turkistan Islamic Party (TIP). Kelompok ini berdampingan dengan Al-Qaidah dan memainkan peran kunci dalam beberapa pertempuran. Pasukan Presiden Suriah Bashar Assad saat ini banyak bentrok dengan pejuang Uighur karena konflik yang telah berlangsung enam tahun tersebut sedang berada dalam fase krusial.

Perang Suriah mungkin merupakan awal dari ketakutan terburuk China
“Kami tidak peduli bagaimana pertempuran itu terjadi atau siapa Assad,” kata Ali, yang hanya akan memberikan nama pertamanya karena khawatir ada tindakan terhadap keluarganya di rumah. “Kami hanya ingin belajar bagaimana menggunakan senjata dan kemudian kembali ke Cina.”
Mujahidin Uighur selama ini telah dituding membunuh ratusan, bahkan ribuan orang, dalam serangan di China. Perjuangan dalam mempertahankan hak-hak mereka selama beberapa dekade terakhir dipandang sebagai pemberontakan yang menargetkan polisi dan simbol otoritas Cina. Di tengah tindakan pemerintah Cina yang semakin represif dalam beberapa tahun terakhir, terjadilah serangan yang juga menyasar warga sipil. Seorang pelaku pernah melakukan serangan dengan pisau dan menelan korban 33 jiwa di sebuah stasiun kereta api pada tahun 2014. Di luar negeri, terjadi pengeboman terhadap Kedutaan Besar Cina di Kirgizstan pada bulan September 2016. Adapun pada tahun 2014, terjadi serangan yang dikaitkan dengan isu Uighur, yang menelan korban 25 orang di sebuah kuil Thailand yang populer dengan turis China.

China mirip dengan Barat, ketika para pejabatnya mengatakan bahwa negaranya adalah korban teror, dan orang-orang Uighur ditarik oleh ideologi jihad global daripada didorong oleh penindasan yang mereka alami di negerinya. Muslimin Uighur di tanah airnya, Xinjiang, seperti yang dikatakan oleh seorang pejabat China kepada kantor berita Associated Press (AP) pada bulan Agustus 2017, “adalah yang paling bahagia di dunia ini.”

Tapi wawancara AP yang langka dan ekstensif dengan sembilan orang Uighur yang telah meninggalkan China untuk beri’dad (berlatih) dan berjihad (berperang) di Suriah menunjukkan bahwa orang-orang Uighur tidak sesuai dengan gambaran yang selama ini dicitrakan tentang pejuang asing yang menjawab seruan jihad.

Baca: Muslim Uyghur di Larang Berpuasa Oleh Rezim Komunis China

Ada seorang pelatih polisi yang melakukan perjalanan ribuan mil dengan istri dan anak-anaknya ke Suriah, negara yang menjadi zona perang. Kemudian seorang petani yang—di mata wartawan AP—tidak tampak sebagai seorang fundamentalis Islam, tetapi ia terlibat dalam pertempuran bersama pejuang Al-Qaidah. Juga, seorang pemilik toko yang mengerjakan shalat lima kali sehari dan kemudian pada malam harinya berkerumun dengan orang lain di sebuah pemukiman warga Suriah yang hancur; bersama-sama belajar sejarah Zionis.

Adapun sosok tadi adalah Ali; seorang pria berusia 30 tahun, berperawakan pendek dan bertutur kata lembut. Ia pernah menempuh pendidikan sekolah dasar, dengan sedikit pengetahuan tentang dunia di luar ladangnya yang seluas 35 hektare saat dia meninggalkan Xinjiang; kampung halaman yang tak  lagi layak untuk ditinggali.

Sambil duduk bersila pada suatu malam baru-baru ini di sebuah apartemen kosong yang menghadap ke gym kickboxing di Istanbul, dia teringat janji yang ia buat pada malam itu, ketika polisi Cina memukulinya karena menuduhnya terlibat dalam kerusuhan yang ia tidak pernah turut serta.
“Saya akan menuntut balas,” tekadnya. [sm/msn]

Share:

Muslim Uyghur di Larang Berpuasa Oleh Rezim Komunis China


Pihak berwenang di daerah Otonomi Xinjiang Uyghur memaksa restoran untuk tetap buka dan membatasi akses ke masjid selama Ramadhan
seorang narasumber mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) edisi Uyghur, bahwa kader Partai Komunis Uyghur, pegawai negeri dan pensiunan pemerintah dibuat untuk menandatangani dokumen yang mengatakan bahwa mereka tidak akan berpuasa atau shalat selama bulan suci, di mana seolah-olah mereka sengaja dijadikan teladan bagi orang-orang Uyghur lainnya di masyarakat.

Seorang pelajar di Kashgar, baru-baru ini memberi tahu RFA bahwa para pejabat sekolah membuatnya dan teman-teman sekelasnya menandatangani perjanjian dengan orang tua mereka bahwa mereka tidak akan berpuasa selama Ramadhan, yang jatuh antara 16 Mei dan 14 Juni tahun ini, menandai pertama kalinya otoritas Xinjiang diketahui menargetkan anak-anak usia sekolah.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa pihak berwenang melakukan pelecehan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dalam kehidupan pribadi Uyghur untuk menghilangkan apa yang mereka sebut tanda-tanda “ekstremisme” agama di wilayah tersebut.
“Karena kami adalah pelajar, maka kami tidak berpuasa,” kata siswa itu, yang berbicara dengan RFA tanpa menyebut nama.
“Kami telah menandatangani perjanjian sekolah dan juga menulis surat perjanjian.”
Ketika ditanya apakah orang tuanya berpuasa selama Ramadhan, siswa itu mengatakan bahwa orang tua mereka juga tidak berpuasa karena “mereka tidak diizinkan untuk mempraktekkan hal-hal seperti itu di depan anak-anak mereka.”
“Karena bertindak sebagai panutan, tentu saja mereka tidak akan berpuasa,” tambahnya.
[sm/rfa]


Share:

Apakah Adolf Hitler Terlahir Kembali?


DHAARR! DI MAKOBRIMOB

Jika di teliti satu persatu dari rangkaian kejadian di Mako Brimob dan Bom Surabaya,banyak sekali pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya. Sebagai contoh sederhananya beberapa pertanyaan atau lebih tepatnya "unek-unek" mengapa dalam kasus Mako Brimob, polisi berbeda-beda dalam memberikan pernyataan kepada wartawan? Mengapa kasus peledakan bom terjadi di Surabaya dan Riau, bukannya di Jakarta? Apakah memang ada upaya untuk menghindari imej buruk di mata internasional karena bertepatan dengan acara Asian Games? Mengapa teroris ini tidak sekalian mengincar agenda Asian Games yang lebih besar sorotannya? Apakah aktor intelektual ini masih memikirkan dampak serangan terhadap kepentingan nasional, jika iya maka siapa pelakunya?

Kita semua sepakat bahwa aksi teror di Indonesia ialah fakta bukan fiksi. Kejadiannya betul-betul ada. Muncul di semua media dan layar kaca. Tapi yang menjadi keresahan bersama umat Islam adalah mengapa pemerintah tidak pernah berlaku adil terhadap semua tindakan terorisme dari semua agama? Akibatnya, muncul pikiran-pikiran di alam bawah sadar masyarakat, bahwa definisi terorisme diciptakan khusus dan istimewa hanya untuk umat Islam. Apalagi, setelah aksi terorisme terjadi kerap muncul serangan dan persekusi terhadap atribut dan cara pandang Islam, dan kadang-kadang juga serangan kepada kubu lawan politik.

Saat ini gejala tersebut sudah muncul. Sejumlah orang yang menganggap bahwa kejadian terorisme adalah settingan dan rekayasa pemerintah diburu aparat. Mereka diciduk dan ditangkap atas pasal penyebaran berita palsu. Sebenarnya, jika kita mau sedikit berpikir dengan paradigma sosiologis, adanya pandangan bahwa aparat merekayasa kejadian terorisme sudah dimulai oleh Mantan Presiden RI yang keenam Abdurrahman Wahid. Pandangan semacam itu lahir karena adanya kejadian di lapangan dan minimnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Seharusnya, kepercayaan publik itu diraih kembali dengan cara persuasif, bukannya semakin represif.

Pada akhirnya, kisah teror ini perlu kita sadari terjadi di tahun politik. Tahun penuh kemunafikan. Di tahun itu, semua orang berwajah ganda. Apa yang terjadi hari ini bukan tak penting, tapi perlu kita lihat akhir kisahnya, supaya kita bisa membaca kejadian itu membawa agenda apa dan kepentingan siapa. Barangkali kisah pembakaran gedung Reichstag pada 27 Februari 1933 bisa diambil hikmahnya. Pembakaran gedung itu pada akhirnya memicu sebuah “Perppu darurat” yang dibuat Adolf Hitler untuk mencabut hak asasi warga Jerman.
Kala itu, sambil menatap kobaran api dengan penuh kegembiraan, Hitler mengatakan: “Api ini hanyalah sebuah awalan.” Apakah pelaku pembakaran Nazi atau bukan, Hitler melihat sebuah peluang politik: “Tidak akan ada belas kasih sekarang. Siapapun yang menghalangi jalan, akan kita habisi.”
Apakah hari ini Adolf Hitler terlahir kembali?

[kiblat] 



Share: